taken from here |
[Postingan dalam rangka nggak ada kerjaan. Kerjaannya sih ada, tapi nggak bisa diunduh, hikss. *fakir wi-fi*]
Setahun lebih saya menjalani profesi ini sebagai pekerja lepas, dan pertanyaan mengenai perbedaan keduanya kerap saya dapatkan. Untuk merangkum bahwa saya melakukan keduanya, saya lebih suka menyebut diri sebagai pemeriksa naskah (boleh cek bio Twitter saya, a draft checker, hehe). Jadi, mau berbagi suka-suka (tidak terlalu teoritis) tentang perbedaan antara editor dan proofreader yaa. ^ ^
taken from here |
Editor
Disebut juga sebagai penyunting naskah, yang menurut KBBI definisi penyunting adalah menyiapkan naskah siap cetak atau siap terbit dengan memperhatikan segi sistematika penyajian, isi, dan bahasa (menyangkut ejaan, diksi, dan struktur kalimat); mengedit. Jadi, yang menjadi bahan pekerjaannya adalah naskah yang disusun oleh penulis. Naskah yang benar-benar fresh dari penulis, biasanya masih belum rapi dan tugas editorlah untuk merapikannya. Juga secara konten, penulis bisa saja menyusun cerita menurut keinginannya, tetapi adakalanya cerita itu masih memiliki celah dalam hal logika. Nah, tugas editor juga sebagai mata ketiga yang jeli melihat apakah cerita itu masih memiliki "lubang". Jadi secara teknis, editor membaca naskah dari penulis dan ketika ada hal-hal yang kurang logis atau kurang nyambung, maka editor akan langsung menandai, memberi komentar, dan meminta perbaikan dari penulis. Idealnya, editor tidak mengubah isi cerita, tugasnya hanyalah memberi saran dan selanjutnya penulis sendiri yang akan merevisi setelah mendiskusikannya dengan editor. Lalu, selain tentang isi cerita, seperti yang sudah saya bilang tugas editor juga merapikan naskah; dalam hal ini adalah struktur kalimat termasuk ejaan dan juga diksi. Perubahan struktur kalimat ini boleh langsung editor ubah selama tidak mengubah isi cerita. Namun tetap perubahan itu harus ditunjukkan kepada penulis, siapa tahu misalnya penulis ada maksud tertentu ketika menulis diksi yang menurut editor tidak sesuai. Jika sudah begitu, sekali lagi diperlukan diskusi untuk menemukan jalan tengahnya. Jadi secara ringkas, editor bertugas untuk memoles naskah mentah dari penulis hingga menjadi enak dibaca dan ceritanya pun asyik untuk diikuti.
taken from here |
Proofreader
Disebut juga sebagai pemeriksa aksara, juga pemeriksa akhir naskah. Dalam sebutan yang pertama sudah jelas, bahwa proofreader lebih berfokus kepada aksaranya. Apakah dalam kalimat itu masih ada kata-kata yang salah eja, tidak sesuai kebakuan, maupun belum mengikuti aturan ejaan yang disempurnakan. Oh ya, proofreader juga wajib untuk memperhatikan tata letak naskah tersebut yang bisa berpengaruh pada pemenggalan kata. Proofreader tidak berkewajiban untuk mengomentari masalah isi cerita, tetapi sebenarnya ia juga melakukan sebagian dari tugas editor, yaitu membaca lagi apakah secara keseluruhan naskah tersebut sudah enak untuk dibaca. Jadi misalnya proofreader masih menemukan lubang dalam isi cerita, boleh juga ia memberi komentar untuk kemudian didiskusikan oleh editor dan penulis. Ibaratnya, proofreading adalah tes kualitas suatu produk. Objek pekerjaannya adalah naskah yang sudah diedit secara final, yang diharapkan sudah rapi, sehingga dari naskah yang rapi itu pekerjaan proofreader tinggal memeriksa lagi apakah masih ada yang terlewat. Ya namanya juga manusia kan bisa luput, apalagi editor sudah banyak berkutat dengan isi cerita, jadi masih mungkin ada salah tulis yang terlewat. :)
taken from here |
Jadi, sudah tahu beda editor dengan proofreader?
- Format naskah yang dikerjakan oleh editor biasanya soft copy dan masih berupa word document, jadi editor akan mudah melakukan perubahan yang terkait struktur kalimat, juga memberikan komentar kepada penulis berkaitan isi cerita. Format naskah yang dikerjakan oleh proofreader, yang pernah saya lakukan sih bisa soft copy bisa juga hard copy. Ada penerbit yang mengharuskan proofreader memeriksa naskah dalam bentuk cetak karena sudah langsung terlihat tata letaknya. Namun ada juga penerbit yang mengirim naskah dalam bentuk soft copy demi alasan kepraktisan. Saat dikirim dalam bentuk soft copy, awalnya saya dapat format pdf karena sudah terlihat tata letaknya. Tetapi karena pada perkembangannya saya masih sering menjumpai lumayan banyak koreksi, maka saya meminta naskah diberikan dalam format word document dulu. Namun tetap pemeriksaan dilakukan sampai format naskahnya final dalam bentuk pdf, sudah berikut tata letaknya.
- Dalam proses memeriksa naskah, saya akan menjelaskan perbedaan keduanya dengan status pekerja lepas seperti yang saya alami sendiri. Editor akan menyetor hasil pemeriksaannya ke redaksi penerbit (editor in house), kemudian redaksi akan menyampaikan komentar-komentar editor kepada penulis (atau beberapa kali juga saya diberi akses langsung kepada penulis untuk berdiskusi). Proofreader akan menyetor hasil pemeriksaannya kepada redaksi penerbit, kemudian redaksi akan menyampaikan koreksi-koreksi dari proofreader kepada editor. Jika editor merasa koreksi dari proofreader tidak perlu diterapkan, maka ia juga harus memberikan alasannya. Misalnya, tentang pilihan kata yang diubah dan menurut editor itu sudah sesuai dengan alur ceritanya.
- Karena lingkup pemeriksaannya berbeda, maka waktu pengerjaan yang diberikan pun berbeda. Editor tentunya memiliki waktu lebih banyak daripada proofreader, karena yang ia urusi adalah naskah mentah dari penulis. Melibatkan diskusi dan proses revisi dari penulis, biasanya sebulan adalah waktu yang paling cepat (bisa juga kurang dari itu sih, kalau kondisi "istimewa", hehe). Sedangkan proofreader karena ia memeriksa naskah yang sudah rapi dari editor, maka waktunya lebih sedikit, misalnya seminggu untuk sekali pengecekan.
- Apa yang dilakukan editor yang tidak dilakukan oleh proofreader? Mengkaji ulang alur dan kelogisan cerita.
- Apa yang dilakukan proofreader yang tidak dilakukan oleh editor? Memeriksa tata letak naskah secara final.
- Apa yang dilakukan oleh keduanya? Mengkaji ulang masalah struktur kalimat; memastikan tidak ada salah tulis, penyelewengan dari KBBI yang terlalu banyak, maupun ketidaksesuaian dengan EYD.
- Perbedaan terakhir adalah... honor. Hehe, karena lingkup pemeriksaan editor lebih luas daripada proofreader, maka tentu honornya lebih besar. Kebijakan tiap penerbit berbeda dalam hal menentukan honor. Ada yang berdasarkan jumlah halaman atau jumlah karakter, dikalikan dengan nominal tertentu. Jadi misalnya nominal pengali untuk editor adalah Rp1.000,00 untuk proofreader hanya Rp500,00. Ada juga penerbit yang langsung menetapkan honor untuk satu naskah dengan jumlah tetap.
Kiranya itulah perbedaan antara editor dan proofreader yang bisa saya bagikan. Jika ada yang kurang dimengerti atau mau memberi tambahan, jangan sungkan untuk meninggalkan komentar di bawah, ya! :)
Kalo proofreader dikasih bukti terbitkah, Din?
ReplyDeleteIla: tergantung penerbitnya sih, ada yang kasih ada yang enggak. :)
ReplyDeleteehem... bener nih gak usah sungkan bertanya? kisik-kisik donk honor proofreader/editor dari penerbit mayor yg pernah kamu tangani, seperti GPU dan Penerbit Haru :)
ReplyDeleteTujuannya jelas: agar calon2 proofreader yg lain tidak menerima honor yang terlampau kecil. hehe....
hai Hume, silakan tanya apa aja tapi aku jawab sebisaku yaa. ;))
ReplyDeletehm, aku memang anti langsung kasih tahu spesifik nominal honor yg kuterima sih. kenapa? ya karena itu masuk dapur penerbit, biarlah mereka sendiri yg beritahu ke para calon editor & proofreadernya. buatku lumayan besar, tapi kan bisa saja standarku beda dg yg lain.
Tapi gambarannya, honor tiap penerbit beda2 pastinya, ada yg ditentukan oleh variabel misalnya jumlah kata atau jumlah halamannya lalu dikalikan sekian ribu rupiah. Ada juga yang langsung nentukan honor tetap per naskah. Nggak usah khawatir terlalu kecil, karena tiap penerbit ada standar sendiri, bisa juga memang memperhatikan pengalaman pelamar. Tapi saranku kalau kamu pemula, sebaiknya jangan langsung orientasi honor "besar", terima saja berapa pun yang mereka tawarkan, yang penting perbanyak pengalaman dulu. ^^
Per halaman, maksudnya per halaman kertas A4 atau naskah jadinya nanti?
Deletelalu yg tepat, per halaman atau per lembar?
Dan sebagai pemula, "ngelunjak" gak ya kalau minta naskah dalam bentuk hardcopy dan bukan softcopy? Soalnya aku lebih teliti baca di kertas daripada di komputer :)
untuk ngedit biasanya per halaman file editannya. Hume, kalau benar kamu memang masih pemula dan belum ada pengalaman, sekali lagi saranku terima saja apa yg penerbit tawarkan. Nggak usah cerewet nego tarif, toh kemampuannya belum terbukti. Terus, untuk editor biasanya pasti softcopy, untuk proofreader bisa soft bisa hardcopy, beda2 penerbit. Kalau kamu memang hanya bisa dan mau baca di kertas, mending ditanyakan di awal jadi nggak akan kesulitan ketika mulai mengerjakan. Aku juga dulu gitu kok, aku nggak neko2 soal honor, berapa mereka tawarin ya aku mau. Dan kalau memang kerjaan kita terbukti bagus dan mereka sampai langganan, lama2 bakal dinaikin kok. semoga menjawab :)
Deleteoh ya aku tergelitik menjawab pertanyaanmu ini:
ReplyDelete"lalu yg tepat, per halaman atau per lembar?"
hm, aku bingung ini tanya apa ngetes? *wkwk, just kidding!*
Gini lho, per halaman itu ya, kalau di buku biasanya kan satu kertas bisa jadi dua halaman (bolak-balik, sisi depan halaman 1, sisi belakang halaman 2). Nah kalau per lembar itu ya itungan satu kertas, alias satu lembar kertas nggak ngitung bolak-baliknya. Kalau untuk kerjaan ya biasanya yang dihitung jumlah halaman yg dikerjakan, bukan jumlah kertasnya. hohoho.
kak kalau mau ngelamar jadi proofreader itu sendiri harus kah nunggu ada lowongan atau gimana ya kak? tapi aku masih kuliah, proofreader ada yang freelance nggak sih kak?
ReplyDeleteok
ReplyDelete